MISTERI PERANG BADAR
Konon…
Di bulan Ramadhan, tepatnya hari Jum’at tanggal 17 Ramadhan 2 H (13 Maret 624 H), pasukan Islam menghadapi peperangan besar melawan pasukan musyrik Quraisy di dekat sumur Badar. Badar adalah daerah yang berjarak 155 km dari Madinah, 310 km dari Makkah, dan 30 km dari pesisir pantai Laut Merah. Oleh sebab itu perang tersebut dikenal dengan istilah Perang Badar.
Umat Islam pada saat itu terpusat di kota Madinah dan masih berjumlah kecil dan tidak seimbang dengan jumlah pasukan kafir. Konon pasukan yang ikut bersama Rasulullah SAW adalah 83 sahabat Muhajirin, 61 sahabat dari suku Aus, dan 170 sahabat dari suku Khazraj. Di antara tiga ratus lebih pasukan itu, ada dua penunggang kuda dan 70 onta yang mereka tunggangi bergantian. 70 orang di kalangan Muhajirin dan sisanya dari Anshar. Sementara di pihak kafir Quraisy ketika mendengar kabar bahwa kafilah dagang Abu Sufyan meminta bantuan, dengan segera mereka menyiapkan kekuatan mereka sebanyak 1000 personil, 600 baju besi, 100 kuda, dan 700 onta serta dengan persenjataan lengkap. Mereka berangkat dengan penuh kesombongan dan kepercayaan diri di bawah pimpinan Abu Jahal. Mereka pikir pasukan Islam akan dengan mudah mereka libas.
Saya tidak akan menceritakan bagaimana serunya peperangan yang sebenarnya tidak seimbang tersebut. Yang jelas dengan izin Allah SWT, 70 orang musyrik Quraisy berhasil dibinasakan dan 70 orang musyrik lainnya ditawan. Umat Islam memperoleh kemenangan yang gilang gemilang saat itu.
Saya akan bicara soal tawanan perang dan cara penebusan dirinya yang unik dan menakjubkan…
Biasanya para tawanan pada jaman itu bisa ditebus dan nilai tebusan waktu itu berkisar antara 1.000-4.000 dirham untuk tiap orang. Meskipun demikian, ada di antara mereka yang tidak dapat membayar tebusan karena miskin. Para tawanan tersebut kemudian masing-masing ditawari sebuah kesepakatan yaitu mereka diminta untuk mengajar 10 orang anak-anak dan orang dewasa Madinah dalam membaca dan menulis. Jadi mengajar literasi membaca dan menulis dijadikan sebagai salah satu syarat pembebasan mereka.
Tawaran tebusan tawanan ini tentu saja ganjil dan tidak pernah terjadi di mana pun. Untuk apa kemampuan membaca dan menulis di jaman yang masih jahiliah dan tidak ada buku tersebut? Seorang tawanan perang bisa menebus dirinya dengan syarat mengajar baca dan tulis pada masyarakat musuh perangnya adalah syarat yang sangat unik dan sangat progresif sekaligus, mau dilihat dengan kacamata apa pun. Tentu saja syarat yang mudah ini kemudian disepakati oleh para tawanan kaum Quraisy.
Demikianlah akhirnya berkat kesepakatan persyaratan yang cukup ganjil ini banyak orang Madinah yang terbebas dari buta huruf karena kebijakan Rasululah ini. Lalu, masing-masing mereka pun diminta menjadi guru bagi orang lain yang belum mampu membaca dan menulis. Begitulah cara Muhammad SAW 14 abad yang lalu dalam upaya untuk mencerdaskan umatnya. Empat belas abad yang lalu, saudara-saudara….! (Dan apa yang kita lakukan saat ini untuk mencerdaskan masyarakat kita…?! Berapa banyak umat Islam yang telah kita bikin melek-literasi saat ini? )
Sampai saat ini saya masih terkagum-kagum dengan kebijakan dan sangat visioner ini. Subhanallah…! Sungguh luar biasa Nabi Muhammad ini…! Padahal katanya Nabi Muhammad itu ummi yang sering diterjemahkan tidak bisa membaca tapi perhatiannya terhadap pentingnya kemampuan dan ketrampilan literasi begitu besarnya sehingga tidak terbayangkan oleh siapa pun pada saat itu. Itu artinya Rasulullah menilai kemampuan untuk membaca dan menulis 10 orang umat Islam adalah minimal 1000 dirham! Berapa nilai kemampuan melek-literasi 10 umat Islam saat ini?
Ada sesuatu yang menjadi pertanyaan saya dari kisah Perang Badar dan tawanannya ini. Bagi saya ini merupakan sebuah misteri yang selalu membuat saya kagum akan Rasulullah SWT. Pertanyaan tersebut adalah :
Mengapa Rasulullah melepaskan para tawanan tersebut dengan tebusan MENGAJAR MEMBACA DAN MENULIS? Uang tebusan sebesar 1.000-4.000 dirham adalah sangat besar saat itu dan tentunya akan sangat dibutuhkan oleh umat Islam yang saat itu masih menghadapi perlawanan yang terus menerus dari kaum kafir. Tapi mengapa Rasululah justru bersedia melepaskan mereka dengan tebusan mengajar membaca dan menulis?
Seberapa pentingkah kemampuan literasi membaca dan menulis PADA SAAT ITU sehingga Rasulullah menghargainya begitu tinggi? Perlu dipahami bahwa 14 abad yang lalu masyarakat masih belum membutuhkan ketrampilan membaca dan menulis seperti di jaman modern saat ini. Saat itu juga belum ada buku yang bisa dibaca dan tulisan masih ditulis di atas kulit kambing dan unta. Kebutuhan akan pentingnya kemampuan literasi masih sangat rendah. Mengapa Rasulullah tidak meminta tebusan pengajaran lain yang lebih penting dan aktual pada saat itu, umpamanya pelajaran bercocok tanam, menggembala , berdagang, dll yang lebih relevan dengan kebutuhan hidup umat Islam pada saat itu? Seberapa pentingkah ketrampilan membaca dan menulis ini sehingga dijadikan sebagai tebusan bagi tawanan?
Mengapa umat Islam saat ini seolah menganggap ketrampilan literasi membaca dan menulis tidak penting dan ditinggalkan paddahal Nabi Muhammad yang hidup 14 abad yang lalu dan dalam keadaan berperang dan diperangi oleh suku-suku di sekitarnya saja menganggap ketrampilan literasi membaca dan menulis itu sangat vital dan dihargai demikian tinggi? Ada apa dengan umat Islam saat ini?
Menurut para ahli, membaca merupakan salah satu fungsi yang paling penting dalam hidup (itu sebabnya Allah menjadikannya sebagai Perintah Pertama, First Commandment, bagi umat Islam). Semua proses belajar didasarkan pada kemampuan membaca. Dengan kemampuan membaca yang membudaya dalam diri setiap anak, maka tingkat keberhasilan di sekolah maupun dalam kehidupan di masyarakat akan membuka peluang kesuksesan hidup yang lebih baik. Farr (1984) menyebutkan “Reading is the heart of education”. Berdasarkan penelitian Baldridge (1987), manusia modern dituntut untuk membaca tidak kurang dari 840.000 kata per minggu. Kurang dari itu dianggap belum modern tentunya. Dan pentingnya belajar membaca dan menulis ini telah dicontohkan oleh Rasulullah sejak 14 abad yang lalu dengan kebijakan tebusan tawanannya yang luar biasa tersebut.
Menurut Taufik Ismail bangsa kita telah menjadi “Rabun Membaca – Pincang Menulis” karena tidak memiliki budaya membaca (buku sastra). Taufik Ismail berdasarkan Risetnya tahun1996 menemukan bahwa rata-rata lulusan SMA di Jerman rata-rata telah membaca 32 judul buku, siswa Belanda 30 Buku, siswa Rusia 12 buku, siswa Jepang 12 buku, siswa Singapur 6 buku, siswa Malaysia 6 buku, Brunai 7 buku sedangkan siswa Indonesia 0 buku.
Suparto Brata (almarhum) menyatakan bahwa anak-anak kita adalah bangsa primitif yang hidup di jaman modern. Menurutnya kita sebagai manusia tetaplah primitif selama kita tidak memiliki budaya membaca dan menulis, meski pun kita menggunakan peralatan yang semakin canggih.
Melihat hal ini seharusnya dalam Islam membudayakan membaca dan menulis adalah sebuah ‘fardhu kifayah’ atau ‘social responsibility’ yang apabila tidak dilakukan akan menjadi dosa bersama. Bukankah Rasulullah sendiri telah menunjukkan betapa pentingnya kemampuan dan ketrampilan membaca dan menulis sehingga dijadikan sebagai syarat untuk menebus tawanan yang bernilai tinggi 14 abad yang lalu? Padahal pada saat itu belum ada buku bacaan yang tersedia tapi toh Nabi Muhammad pada saat itu telah menganggap pengetahuan dan ketrampilan literasi (membaca dan menulis) adalah sangat penting.
Saya tidak tahu yang mana yang lebih merupakan misteri sebenarnya, yaitu mengapa Rasul menganggap pengetahuan dan ketrampilan literasi (membaca dan menulis) adalah sangat penting di jaman ketika buku belum ada atau mengapa umat Islam saat ini tidak menganggap pengetahuan dan ketrampilan literasi (membaca dan menulis) adalah sangat penting seperti Nabi memperlakukannya. Hilangnya budaya literasi membaca dan menulis pada umat Islam saat ini, padahal membaca adalah Perintah Pertama Allah pada umat Islam, adalah sebuah misteri yang tidak kalah anehnya. 🤔
Surabaya, 12 Mei 2014
Satria Dharma
0 Komentar