Untuk menjawab pertanyaan ini, ada beberapa referensi yang menarik untuk di baca. Yang pertama adalah pejelasan guru besar ilmu sejarah dari Universitas Gajah Mada (UGM) Prof Dr Teuku Ibrahim Alfian dalam buku Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah, cetakan pertama tahun 1999, diterbitkan oleh Pusat Dokumentasi dan Informansi Aceh (PDIA) Banda Aceh.
Dalam buku itu dijelaskan, Kerajaan Aceh paham betul bahwa Belanda yang sudah 2,5 abad menjajah nusantara, lambat laun pasti akan menyerang Aceh, karena Aceh merupakan pintu masuk ke nusantara di Selat Malaka. Belanda sering melakukan provokasi di Selat Malak untuk menghancurkan reputasi Aceh di mata internasional, serta berupaya mencari alasan untuk berkonfrontasi dengan Kerajaan Aceh.
Untuk menghadapi serangan Belanda, Panglima Perang Kerajaan Aceh Tuanku Hasyim Banta Muda mengimpor 15.000 pucuk senapan dan mesiu dari Penang untuk memperkuat benteng pertahanan di Pulau Kampay (sekarang masuk wilayah Sumatera Utara). Senjata-senjata itu dibeli secara barter dengan rempah-rempah dari hasil perkebunan yang dibangunnya.
Untuk membantu biaya perang, para petinggi kerajaan Aceh menyumbangkan hartanya. Saat itu, Wazir Rama Setia/Wakil Panglima Besar Angkatan Perang Aceh, Letnan Jendral Said Abdullah Teungku Di Meulek menyumbang 16 kilogram emas dan 4.700 riyal untuk biaya perang.
Sumbangan itu diberikan pada bulan Rabiul Awal 1290 Hijriah (1873 Masehi) dan dicatat dalam Sarakata Risalah Sedekah bertulis tangan huruf Arab, yang kemudian menjadi dokumen kerajaan peninggalan Wazir Rama Setia Kerajaan Aceh.
Dengan persiapan yang matang dan pengadaan senjata dalam jumlah besar itulah, Belanda dikalahkan di Aceh pada agresi pertamanya, kekalahan Belanda di Aceh pada tahun 1873 itu juga ditandai dengan tewasnya Panglima Perang Belanda Mayor Jendral JHR Kohler karena ditembak di dadanya oleh penembak jitu (sniper) Aceh di halaman utara Masjid Raya Baiturrahman.
Kekalahan Belanda di Aceh itu di luar perkiraan mereka. Aceh telah menyiapkan diri dengan baik terhadap serangan Belanda, senjata-senjata modern dipasok dari luar negeri.
Pengadaan senjata secara besar-besaran oleh Kerajaan Aceh itu juga bisa dibaca dalam buku sejarah Belanda sediri, salah satunya buku yang ditulis oleh EB Kielstra dengan judul Eschrijving Van Den Atjeh Oorlog, 1883, yang menjelaskan bahwa dalam menghadapi kemungkinan agresi Belanda,
Aceh mengimpor 5000 peti mesiu dan 1.349 peti senapan dari Pulau Pinang sejak Agustus 1872 hingga Maret 1873. Anggaran untuk pembelian senjata secara besar-besaran itu didanai dari dana-dana yang dihimpun dari rakyat Aceh. Anak cucu keluarga Sulthan Alauddin Jamalul Alam Badrulmunir al Jamalullail memberikan sumbangan 12 kilogram emas.
Karena itu pula Aceh sanggup berperang dengan Belanda hingga 69 tahun, hingga kemudian Belanda mengakui kekalahannya. Empat jendral Belanda tewas dalam perang Aceh
Sumber : snouck Hurgronje agen Belanda yang di kirim ke Aceh.
0 Komentar