Asal Usul dan Sejarah Minyak Goreng



Komoditas kelapa sawit berkembang pesat, hingga menjadi kebutuhan pokok skala rumah tangga. Belakangan mayarakat ramai memborong minyak goreng karena harganya turun menjadi Rp 14.000 per liter mulai 19 Januari 2022.


Kebijakan satu harga minyak goreng ini dibuat untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga serta usaha mikro. Kelapa sawit atau Elaeis guineensis, merupakan tumbuhan iklim tropis yang mengandung minyak nabati paling serbaguna di dunia.


Lantas, bagaimana awal mula penggunaan minyak goreng, yang kini menjadi kebutuhan pokok skala rumah tangga?


🛑 Sejarahnya diwarnai perbudakan


Melansir ensiklopedia Britannica, minyak kelapa sawit telah lama menjadi bahan kebutuhan pokok di wilayah yang terbentang dari Senegal hingga Angola di sepanjang pantai barat Afrika.


Minyak kelapa sawit memasuki lanskap ekonomi global sekitar tahun 1500-an, karena marak dipakai oleh kapal perdagangan budak transatlantik.


Selama perjalanan melintasi Atlantik, minyak kelapa sawit adalah makanan berharga yang membuat para tawanan tetap hidup.


Bahkan, para pedagang juga mengolesi kulit para tawanan dengan minyak sawit agar terlihat mulus, kinclong, dan muda sebelum dilelang.


Karena minyak sawit menjadi semakin umum, ia kehilangan reputasinya sebagai bahan mewah.


Eksportir membuatnya lebih murah dengan metode hemat tenaga kerja yang memungkinkan buah sawit berfermentasi dan melunak, meski hasilnya tengik.


Pembeli Eropa kemudian menggunakan proses kimia mutakhir untuk menghilangkan bau dan warna busuk.


Hasilnya, minyak kelapa sawit bisa menjadi zat hambar yang dapat menggantikan fungsi lemak konsumsi atau minyak lain yang lebih mahal.


🛑 Diproduksi untuk kebutuhan industri


Buah dan biji sawit bisa diperas untuk menghasilkan jenis minyak yang bisa membuat sabun lebih bergelembung dan berbagai makanan menjadi renyah. Minyak sawit dilirik banyak produsen karena bisa menyatu baik dengan bahan lainnya.


Biaya produksinya disebut lebih murah daripada minyak goreng dari biji kapas atau bunga matahari.


Kendati demikian, minyak goreng menjadi 'lebih murah' karena ada warisan kolonialisme dan eksploitasi yang masih membelenggu industri saat ini, sehingga membuat sulitnya mengalihkan produksi minyak sawit ke jalur yang lebih berkelanjutan.


Tidak ada inovasi tunggal yang menyebabkan konsumsi minyak sawit melonjak.


Namun menurut The Guardian, 19 Februari 2019, organisasi keuangan internasional melihat komoditas ini sebagai mesin pertumbuhan ekonomi.


Pada 1960-an, para ilmuwan mulai memperingatkan bahwa kandungan lemak jenuh yang tinggi dari mentega dapat meningkatkan risiko penyakit jantung.


Produsen makanan, termasuk Unilever, konglomerasi Inggris-Belanda, mulai menggantinya dengan margarin, yang dibuat dengan minyak nabati dengan kandungan lemak jenuh lebih rendah.


Namun, pada awal 1990-an, ditemukan bahwa proses pembuatan minyak dalam margarin, yang dikenal sebagai hidrogenasi parsial, sebenarnya menciptakan jenis lemak yang berbeda, yakni lemak trans yang bahkan lebih tidak sehat daripada lemak jenuh.


Seruan internasional pun menuntut pembatasan penggunaan bahan pangan yang mengandung lemak trans.


Pada 1994, seorang manajer kilang Unilever bernama Gerrit van Duijn menerima telepon dari bosnya di Rotterdam. Dua puluh pabrik Unilever di 15 negara diminta menghilangkan minyak terhidrogenasi parsial dari 600 campuran lemak, lalu menggantinya dengan komponen bebas lemak trans.


Dia dituntut untuk mencari pengganti bahan lemak trans yang lebih menguntungkan, sebagai pengganti mentega. Proyek ini disebut "Paddington".


Pada akhirnya, proyek ini membawa industri yang memanfaatkan minyak kepada satu-satunya pilihan, yakni minyak dari buah dan biji kelapa sawit.


Minyak kelapa sawit pertama kali digunakan untuk mewarnai margarin sehingga menjadi kuning, tetapi ternyata menjadi bahan utama karena tetap kokoh pada suhu kamar dan meleleh di mulut, seperti mentega.


Itu adalah momen yang mengubah industri makanan olahan selamanya.


🛑 Komoditas kontroversial ini tidak selalu murah


Pengusaha margarin dan sabun seperti William Lever dari Inggris menghadapi kenyataan bahwa masyarakat Afrika seringkali menolak menyediakan lahan untuk perusahaan asing untuk industri sawit.


Pemembuat minyak dengan tangan masih menguntungkan bagi mereka. Sementara, produsen minyak kolonial menggunakan paksaan pemerintah dan kekerasan untuk mencari tenaga kerja.


Bisnis minyak kelapa sawit lebih lancar di Asia Tenggara, di mana mereka menciptakan industri perkebunan kelapa sawit baru. Penguasa kolonial di Asia Tenggara memberi izin hampir tak terbatas atas tanah kepada perusahaan perkebunan.


Perusahaan-perusahaan itu mempekerjakan kuli dari pekerja migran India selatan, Indonesia dan China. Para buruh ini bekerja di bawah paksaan, kontrak dengan upah rendah, dan undang-undang yang diskriminatif.


🛑 Industri minyak kelapa sawit terus berkembang.


Saat ini, 3 miliar orang di 150 negara menggunakan produk yang mengandung minyak sawit. Secara global, setiap manusia mengkonsumsi rata-rata 8 kg minyak sawit per tahun.


Dari jumlah tersebut, 85 persen sawitnya berasal dari Malaysia dan Indonesia.


Fakta ini menjadi kekhawatiran pemerhati lingkungan, karena pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit adalah sumber utama emisi gas rumah kaca.


Belum lagi habitat satwa di sekitarnya yang terancam punah, seperti harimau sumatera, badak sumatera, dan orangutan.


(*)

Posting Komentar

0 Komentar