Dikutip dari harian Kompas.com
Nama Jusuf Hamka menjadi sorotan usai mengemukakan niatnya untuk menjadikan 10 hektar tanah miliknya sebagai lokasi pemakaman jenazah pasien Covid-19.
“Saya punya tanah sebetulnya di Rorotan (Jakarta Utara) hampir 10 hektar. Saya bilang kan, saya harus adil, saudara-saudara kita umat Hindu, Kristen, Buddha, soal kremasi udah selesai,” kata Jusuf.
“Terus umat Islam dan umat lain yang mau dimakamkan, silakan pakai tanah saya,” sambungnya.
Baca juga: Jusuf Hamka Jadikan 10 Hektar Tanahnya di Rorotan sebagai Lokasi Pemakaman Jenazah Pasien Covid-19, Tarif Rp 7 Juta
Pria yang akrab disapa Babah Alun ini turut berperan dalam memerangi percaloan kremasi untuk jenazah pasien Covid-19 di Jakarta.
Jusuf yang merupakan Dewan Pembina Krematorium Cilincing memerintahkan krematorium tersebut untuk menerima jenazah pasien Covid-19 dan memungut harga rendah untuk jasa kremasi, yakni Rp 7 juta.
Sebelumnya beredar berita tentang adanya calo jasa kremasi yang mematok harga hongra ratusan juta rupiah per jenazah pasien Covid-19.
Lantas, siapakah Jusuf Hamka sebenarnya?
Pengusaha sukses yang dermawan
Jusuf Hamka merupakan bos perusahaan jalan tol PT Citra Marga Nusaphala Persada.
Ia dikenal sebagai sosok pengusaha yang dermawan dan kerap membantu masyarakat yang kesusahan.
Pada tahun 2018, ia sempat menjadi sorotan karena menjual nasi kuning beserta lauk-pauknya dengan harga Rp 3.000 per porsi.
Nasi kuning tersebut dijual di sebuah tenda bernama Warung Nasi Kuning Podjok Halal.
Saat diwawancarai Kompas TV, Jusuf menjelaskan, usaha tersebut sudah dibuka sejak 6 Februari 2018, dengan sasaran fakir miskin dan duafa.
Usaha ini merupakan bentuk pengabdian dan rasa terima kasihnya kepada Tuhan, pungkasnya, dilansir dari Tribunnews.com.
"Mungkin secara matematika rugi, tetapi ini dagang yang paling untung. Karena harta yang kita sedekahkan ini adalah harta kita di akhirat nanti," ujar pria yang sudah memasuki usia kepala enam tersebut.
Lantaran harga yang murah dan laku keras, ia menjelaskan, konsep penjualan nasi kuning ini tidak mau mematikan usaha warung-warung sekitar.
"Kita harus beli dari mereka, harganya Rp 10-Rp 12.000," sambung Jusuf.
Caranya, Jusuf meminta penjual nasi kuning itu ikut menjaga di warungnya dan menerima uang sebesar Rp 3.000 setiap porsi dari pembeli. Setelah itu ia akan menyubsidi sisanya.
"Jadi sedekah kita berkah untuk mereka, tapi doa mereka berkah untuk kita, dua-duanya happy," ucap Jusuf saat diwawancarai terpisah di acara Hitam Putih, Trans 7.
Menjadi mualaf di bawah tuntunan Buya Hamka
Pria yang terlahir dengan nama Alun Joseph ini hidup sederhana sejak kecil. Bahkan, ia sempat berjualan es mambo di Masjid Istiqlal.
"Dulu saya hidup karena ditolong orang. Dari sedekah orang. Saya jual es mambo, temen saya dulu omzetnya misalnya Rp 100.000, saya pulang bisa bawa Rp 130.000. Karena apa? Orang tuh duit lebihannya 'udah ambil deh' mereka sedekah, kasih infak ke saya. Gitu."
"Pembeli saya dulu kebanyakan jemaah Masjid Istiqlal. Saya dagang di Istiqlal, belum jadi mualaf. Itu saya masih (usia) 10 tahun. Saya bilang, kok orang Islam baik-baik ya," katanya.
Kecintaannya terhadap Islam terus-menerus berlanjut.
Di bulan Maret 1981, akhirnya Alun Joseph memiliki sebuah niat besar untuk menjadi seorang mualaf.
Ia kemudian menemui seorang ulama besar Buya Hamka di Al Azhar Jakarta.
Awalnya, ia hanya berniat untuk bercerita akan ketertarikannya untuk masuk Islam dan belajar tentang Islam.
Tetapi, ia justru dipaksa masuk Islam oleh Buya Hamka detik itu juga. Alasannya, ulama tersebut takut berdosa.
"Saya bilang, saya mau nanya-nanya. Mau masuk Islam. Akhirnya disuruh Islam di situ secara langsung. Saya bilang, 'Kenapa maksa Buya?',"
"Terus kata dia, bukannya Buya maksa, tetapi kalau kamu pulang, terus kamu meninggal, itu kafir dosanya Buya yang tanggung," kata dia bercerita.
"Oh gitu, ya udah deh, Buya. Akhirnya langsung baca syahadat, 'Udah kamu Islam', udah," tuturnya.
0 Komentar