Imam Shamsi Ali*
“Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hambaNya dari masjidil haram ke masjidil aqsa, yang sekitarnya telah Kami (Allah) berkahi, dan untuk Kami perlihatkan padanya sebagian dari tanda-tanda Kami. Sesungguhnya Dia Maha mendengar lagi Maha melihat” (Al-Isra: 1).
Salah satu tonggak sejarah dalam perjalanan juang Rasulullah SAW mengemban amanah Dakwah adalah peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Isra’ berarti perjalan di malam hari. Sedangkan Mi’raj berarti perjalanan ke atas (vertical journey).
Ada beberapa pendapat di kalangan para Ulama tentang kapan peristiwa tersebut terjadi. Ada yang menyebutkan tiga tahun sebelum hijrahnya beliau ke Madinah. Ada juga yang menyebutkan setahun sebelum Rasulullah diperintahkan untuk berhijrah ke kota Yatsrib (belakangan dirubah menjadi Madinatur Rasul).
Namun yang pasti peristiwa Isra’ Mi’raj ini terjadi ketika Rasulullah SAW sedang menghadapi situasi yang sangat berat. Baru saja boikot Bani Hasyim berakhir. Disusul kematian dua orang terdekatnya, Khadijah sang isteri tercinta dan Abu Thalib sang paman yang beliau juga cintai. Bahkan baru saja beliau kembali dari misi Dakwah ke Thaif yang ternyata berakhir dengan resistensi yang menyedihkan.
Semua itu menjadikan beliau menyebut masa-masa tersebut dengan sebutan “‘aamul huzni” atau tahun kesedihan. Bagaimana tidak, tidak saja bahwa Khadijah sebagai tulang punggung Dakwah meninggalkan beliau. Sementara Abu Thalib walaupun bukan Muslim tapi memposisikan diri sebagai benteng Rasulullah dari serangan musuh, khususnya dari kalangan keluarga.
Kesedihan Rasulullah SAW sebenarnya juga disebabkan terutama karena Abu Thalib meninggal dalam keadaan Kafir. Bagi beliau seolah itu kegagalan yang menyedihkan. Tapi juga realita bahwa resistensi kepada Dakwah semakin meninggi seperti apa yang terjadi dalam perjalanan dakwahnya ke Thaif.
Saya tidak bermaksud membicarakan lagi tentang “who, what, how and when” dari peristiwa Isra dan Mi’raj ini. Karena hal-hal seperti ini selain bukan esensi utama dari sejarah, juga telah banyak dibicarakan oleh banyak kalangan. Saya hanya ingin mengambil satu hikmah terpenting dari peristiwa penting dari perjalanan sejarah agama ini.
Jika kita merujuk kepada realita kebangkitan Islam dan Umat, ada beberapa anak tangga yang terlalui. Dari kelahiran Rasulullah (Milad), pengangkatan Muhammad menjadi Rasul (bi’tsah), lalu diperjalankannya beliau di malam hari (Isra’ Mi’raj), hingga ke migrasi Rasulullah ke Madinah (hijrah), yang berujung kepada penaklukan Kota Mekah (Fathu Makkah).
Dari semua anak tangga itu Isra’ Mi’raj dan Hijrah adalah dua simboliasi kebangkitan Umat secara keseluruhan. Isra dan Mi’raj adalah simbol kebangkitan individual. Sementara Hijrah merupakan simbol kebangkitan kolektif (keumatan).
Peristiwa Isra’ Mi’raj sesungguhya tidak bisa dilepaskan dari konteks situasi yang mengelilinginya saat itu. Berbagai tantangan dan cobaan silih berganti menimpa baginda Rasulullah SAW. Bahkan sebagai manusia yang tentunya memiliki tendensi manusiawi beliau seolah sumpek dan sempit dengan semua itu. Di momen-momen puncak kesumpekan dan kesempitan itu Allah justeru memperjalankannya (Isra’) dan menaikkannya (Mi’raj) ke tingkat tertinggi (Sidratul Muntaha).
Peristiwa Isra’ Mi’raj benar-benar menggambarkan kekuasaan dan otoritas Ilahi. Muhammad dalam semua konteks perjalanan ini adalah obyek dalam genggaman Dia Yang Maha mendengar lagi Maha melihat. Dan karenanya ayat tentang Isra dan Mi’raj juga dimulai dengan pernyataan tegas: “Subhana”. Sebuah penegasan akan kemaha sempurnaan Allah dalam kuasa dan otoritasnya.
Selanjutnya semua detak langkah yang terjadi dalam peristiwa itu merujuk kepada “kuasa Allah”. Bahwa Dia yang memperjalankan (asraa) hambaNya. Kata hamba (‘abd) selain memang panggilan mulia bagi seorang Mukmin, juga menunjukkan “penghambaan mutlak” dari seorang hamba yang “laa haula wa laa quwwata illa billah” (tiada saya dan tiada kekuatan kecuali dengan Allah).
Bahkan sekeliling peristiwa Isra’ dan Mi’raj sekalipun semuanya berada dalam genggaman karunia (keberkahan) Allah (barakna haulah). Jerusalem dengan kuasaNya menjadi identik dengan keberkahanNya. Selain memang menjadi kawasan tersubur di antara semua kawasan Timur Tengah (keberkahan bumi). Juga memang diselimuti oleh keberkahan langit dengan dijadikannya tempat bagi mayoritas Rasul dan Nabi.
Demikian seterusnya dengan jelas kita dengan gamblang dapat menyaksikan demonstrasi kekuasaan Allah dalam peristiwa ini. Bahwa Rasulullah SAW yang ketika itu terjepit oleh situasi yang sangat sulit, justeru kesulitan itu menjadi awal beliau diperjalankan dan diangkat ke atas puncak ketinggian itu.
Hikmah dari semua itu adalah bahwa Allah dalam memberikan pertolongan kepada hambaNya justeru dengan caraNya yang unik dan sering di luar tangkapan nalar manusia. Memperjalankan merupakan simbolisasi dari menggerakkan (tahriik) dan merubah (taghyiir) dari situasi stagnasi yang menyulitkan ke situasi pergerakan dan perubahan (dinamika) yang memudahkan dan menyenangkan.
Pergerakan dan perubahan itulah yang kemudian akhirnya membawa ke arah ketinggian (kemenangan dan kesuksesan) yang membahagiakan. Mi’raj adalah gambaran pendakian menuju kepada maqaam (tempat) kesuksesan tertinggi.
Akhirnya Isra Mi’raj berakhir dengan karunia besar dari Allah berupa sholat. Sebuah perintah terpenting dalam Islam sebagai rukun agama. Sekaligus menjadi hadiah terbesar bagi Umat untuk melakukan perjalanan (isra’) menuju kepada ketinggian (mi’raj).
Sholat memang ditetapkan sebagai jalan kemenangan yang diikrarkan dengan azan: “hayya alas sholah, hayya alal falah”. Maka “sholat adalah Mi’rajnya orang beriman” (hadits).
Selamat Isra’ Mi’raj. Semoga pintu Kemenangan itu semakin terbuka. Amin!
Manhattan City, 17 Pebruari 2023
* Presiden Nusantara Foundation
0 Komentar