FIZZIA -- Beberapa hari belakangan, masyarakat Indonesia masih ramai membahas kemungkinan perbedaan hari raya Idulfitri antara Muhammadiyah dan pemerintah.
Ilustrasi Melihat Hilal |
Pasalnya, jauh-jauh hari, persyarikatan Muhammadiyah telah mengumumkan bahwa Idulfitri 1444 Hijriyah jatuh pada 21 April 2023 Masehi.
Penetapan itu kemungkinan besar berbeda dengan versi pemerintah yang diprediksi akan menetapkan Idulfitri pada 22 April 2023 mendatang.
Banyak yang beranggapan hanya Muhammadiyah yang sering berbeda dengan Pemerintah. Namun faktanya, dilansir dari NUonline, perbedaan penetapan hari raya oleh NU juga pernah berbeda dengan pemerintah.
Penetapan awal bulan hijriah yang dilakukan NU tidak hanya berbeda dengan ormas keagamaan, tetapi pernah juga beberapa kali mengalami perbedaan dengan pemerintah.
Tepatnya sejak pendirian Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) pada tahun 1984, setidaknya ada empat peristiwa perbedaan penetapan awal bulan hijriah antara NU dan pemerintah.
Pertama, perbedaan Idul Fitri 1 Syawal 1412 H. Kala itu, LFNU yang dipimpin duet KH Irfan Zidni dan KH A Ghazalie Masroeri itu memutuskan bahwa Idul Fitri di tahun tersebut jatuh pada Sabtu, 4 April 1992.
Hal itu didasari pada keberhasilan perukyat di Cakung, Jakarta Timur melihat hilal. Karena hilal sudah terlihat, maka secara otomatis, Ramadhan 1442 H hanya berumur 29 hari, esok harinya sudah masuk bulan baru, 1 Syawal 1412 H. Namun, keputusan pemerintah saat itu berbeda dengan yang ditetapkan NU.
Pemerintah melalui Menteri Agama saat itu, Moenawir Sjadzali, memutuskan untuk menggenapkan bulan Ramadhan menjadi 30 hari (istikmal) sehingga hari raya Idul Fitri, 1 Syawal 1412 H jatuh pada lusa, Ahad, 5 April 1992 M.
Hal demikian terulang di dua tahun berikutnya. Pemerintah melalui Menteri Agama Tarmizi Taher memutuskan bahwa hari raya Idul Fitri, 1 Syawal 1413 H terjadi pada Kamis, 25 Maret 1993 M. Sementara NU memutuskan, bahwa 1 Syawal 1413 H jatuh pada Rabu, 24 Maret 1993 M, berbeda sehari dengan keputusan yang ditetapkan pemerintah.
Pun pada Idul Fitri tahun 1414 H. Saat itu, NU memutuskan 1 Syawal 1414 jatuh pada Ahad, 13 Maret 1994 M. Sementara Menteri Agama Tarmizi Taher yang mewakili pemerintah memutuskan hari raya Idul Fitri terjadi pada satu hari berikutnya, yakni Senin, 14 Maret 1994 M.
Perbedaan demikian tidak hanya terjadi pada bulan Syawal untuk hari raya Idul Fitri. NU juga pernah berbeda dengan pemerintah dalam menetapkan hari raya Idul Adha. Bahkan, hal ini terjadi saat pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden KH Abdurrahman Wahid dengan Menteri Agama KH M. Tolchah Hasan yang notabene keduanya merupakan tokoh NU. Perbedaan ini terjadi pada Idul Adha tahun 1420 H. Saat itu, NU melalui LF NU di bawah komando KH Ahmad Ghazalie Masroeri memutuskan bahwa Idul Adha terjadi pada Jumat, 17 Maret 2000.
Hal itu didasarkan pada laporan perukyat yang tidak berhasil melihat hilal pada Senin, 6 Maret 2000 M, atau bertepatan dengan 29 Dzulqa’dah 1420 H. Dengan begitu, bulan kesebelas itu digenapkan menjadi 30 hari (istikmal) sehingga 1 Dzulhijjah 1420 H terjadi pada lusanya, yakni Rabu, 8 Maret 2000 M.
Sementara itu, Kiai Tolchah sebagai menteri agama memutuskan bahwa Idul Adha 1420 H terjadi pada Kamis, 16 Maret 2000. Keputusan ini didasarkan pada terpenuhinya kriteria imkanur rukyat (kemungkinan hilal bisa terlihat/visibilitas) pada hilal di akhir bulan Dzulqa’dah 1420 H itu.
Sumber : fajar.co.id
0 Komentar