Iman dan Ilmu Membuahkan Keyakinan dan Amal


Kita hidup di dunia ini hakikatnya adalah sebuah perjalanan menuju kepada Allah Azza wa Jalla. Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

كلّ الناسِ يغدو؛ فبائعٌ نَفسَه فمُعتِقها أو موبِقها

“Setiap hari semua orang melakukan perjalanan hidupnya, keluar mempertaruhkan dirinya! Ada yang membebaskan dirinya dan ada pula yang mencelakakannya!” 

(HR.  Imam Muslim).


Bekal apakah yang perlu kita siapkan di dalam perjalanan menuju akhirat ini?! Jawabannya, ada beberapa bekal yang perlu sekali kita siapkan sejak sekarang untuk perjalanan menuju kampung akhirat...


keimanan merupakan bekal yang paling utama karena ia adalah kunci semua kebahagiaan dan kebaikan di dunia dan di akhirat, 

«مَنْ لَقِيَ اللهَ لَايُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ، وَمَنْ لَقِيَهُ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا دَخَلَ النَّارَ».

“Barang siapa berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak menyekutukan-Nya maka dia akan masuk surga. Adapun siapa yang berjumpa dengan Allah dalam keadaan menyekutukan Allah maka akan masuk neraka.” 

(HR. Muslim)


Selama berkelana dan mengembara di dalam perjalanan hidup ini, kita memerlukan bekal ilmu yang membuahkan keyakinan. Coba kita bayangkan, jika kita pergi menuju suatu tujuan tanpa mengetahui alamat yang kita tuju, rute perjalanannya, dan sebagainya, apa yang terjadi? Mungkin kita akan tersesat, atau gampang ditipu orang, terombang-ambing di dalam kebingungan. Demikian pula di dalam perjalanan menuju akhirat, jika kita tidak memiliki lentera ilmu maka akan tersesat, mudah ditipu orang, dan terombang-ambing di dalam kebingungan... 


Maka dari itu, bersemangatlah memperbanyak bekal ilmu yang dibangun di atas al-Qur‘an dan as-Sunnah karena ia akan menjadi lentera yang menyinari perjalanan kita hingga ke surga yang penuh dengan kenikmatan,

«مَنْ سَلَكَ طَرِيْقاً يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْماً سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقاً إِلَى الْجَنَّةِ».

“Barangsiapa menempuh perjalanan dalam rangka menuntut ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” 

(HR. Muslim)


Amal shalih adalah amal kebajikan sebagai bekal utama yang bisa diandalkan untuk suatu hari yang pada waktu itu tidak bermanfaat lagi harta dan jabatan...


Amalan kebajikan tanpa ikhlas maka sia-sia, seperti debu-debu yang beterbangan. Sementara itu, amal kebajikan tanpa ittiba’ juga sia-sia hanya memberatkan, seperti pengembara yang memenuhi tasnya dengan batu, memberatkan tanpa faedah yang berarti. Maka bersemangatlah untuk beramal kebajikan. Jangan pernah meremehkan sebuah amal kebajikan sekecil apa pun, karena kita tidak tahu amal manakah yang diterima di sisi Allah Azza wa Jalla, siapa tahu amal yang kita anggap remeh justru itu yang menjadikan kita meraih ampunan Allah Azza wa Jalla dan surga-Nya...


Terkadang kita masih seringkali lalai dan khilaf penuh dosa, bahkan berbuat zalim dengan orang lain, sesalilah dosa-dosa kita sebelum kita akan menyesal selamanya. Bertaubatlah sekarang juga sebelum ajal datang menjemput...


Bekal kesabaran sangat penting dalam perjalanan menuju kampung akhirat karena perjalanan ini panjang, melelahkan, dan banyak rintangan yang menghadang...


Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

«السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنَ الْعَذَابِ».

“Safar adalah bagian dari siksaan.”


Sesungguhnya perjalanan kehidupan manusia penuh dengan berbagai ujian yang harus dijalani dengan kesabaran dan ketabahan hingga mencapai kemuliaan taqwa dan iman...


Ahlus Sunnah meyakini bahwa kemuliaan nasab mengikuti kemuliaan takwa dan iman. Adapun barangsiapa di antara Ahlul Bait yang tidak bertakwa maka kemuliaan nasabnya tidak akan memberi manfaat baginya. Allah Azza wa Jalla berfirman,

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

"Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu." 

(QS. Al-Hujurat: 13)


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ

“Barang siapa yang amalannya memperlambatnya maka nasabnya tidak akan bisa mempercepatnya.” 

(HR. Muslim no 2699)


Al-Imam An-Nawawi mengomentari hadits ini,

مَعْنَاهُ مَنْ كَانَ عَمَلُهُ نَاقِصًا لَمْ يُلْحِقْهُ بِمَرْتَبَةِ أَصْحَابِ الأَعْمَالِ فَيَنْبَغِى أَنْ لاَ يَتَّكِلَ عَلَى شَرَفِ النَّسَبِ وَفَضِيْلَةِ الآبَاءِ وَيُقَصِّرُ فِى الْعَمَلِ

“Makna hadits ini yaitu barang siapa yang amalnya kurang maka nasabnya tidak akan membuatnya sampai pada kedudukan orang-orang yang beramal, maka seyogyanya agar ia tidak bersandar kepada kemuliaan nasabnya dan keutamaan leluhurnya lalu kurang dalam beramal.” 

(Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim 17/22-23)


Ibnu Rajab Al-Hanbali berkata,

فَمَنْ أَبْطَأَ بِهِ عَمَلُهُ أَنْ يَبْلُغَ بِهِ الْمَنَازِلَ الْعَالِيَةَ عِنْدَ اللهِ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ فَيُبَلِّغُهُ تِلْكَ الدَّرَجَاتِ، فَإِنَّ الله تَعَالَى رَتَّبَ الْجَزَاءَ عَلَى الأَعْمَالِ لاَ عَلَى الأَنْسَابِ كَمَا قَالَ تَعَالَى فَإِذَا نُفِخَ فِي الصُّوْرِ فَلاَ أَنْسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلاَ يَتَسَاءَلُوْنَ

“Barangsiapa yang amalnya lambat dalam mencapai derajat yang tinggi di sisi Allah maka nasabnya tidak akan mempercepat dia untuk mencapai derajat yang tinggi tersebut. Karena Allah Azza wa Jalla memberi ganjaran balasan atas amalan dan bukan atas nasab sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla,

فَإِذَا نُفِخَ فِي الصُّورِ فَلا أَنْسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلا يَتَسَاءَلُونَ (١٠١)

“Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya.” 

(QS. Al-Mukminun: 101,  Jaami al-‘Uluum wa al-Hikam hlm. 652)


Ibnu Rajab berkata selanjutnya,

“Dan dalam Musnad (Ahmad) dari Mu’adz bin Jabal bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala mengutus beliau ke negeri Yaman maka Nabi keluar bersama beliau sambil memberi wasiat kepada beliau, lalu Nabi berpaling dan menghadap ke kota Madinah dengan wajahnya dan berkata,

إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِي الْمُتَّقُوْنَ، مَنْ كَانُوْا حَيْثُ كَانُوْا

“Sesungguhnya orang-orang yang paling dekat dengan aku adalah orang-orang yang bertakwa, siapa saja mereka dan di mana saja mereka.” 

(HR. Ahmad no 22052)


Dan At-Thabrani mengeluarkan hadits ini dengan tambahan,

إِنَّ أَهْلَ بَيْتِي هَؤُلاَءِ يَرَوْنَ أَنَّهُمْ أَوْلَى النَّاسِ بِي وَلَيْسَ كَذَلِكَ، إِنَّ أَوْلِيَائِي مِنْكُمُ الْمُتَّقُوْنَ مَنْ كَانُوْا وَحَيْثُ كَانُوْا

“Sesungguhnya Ahlul Bait mereka memandang bahwasanya mereka adalah orang yang paling dekat denganku, dan perkaranya tidak demikian, sesungguhnya para wali-waliku dari kalian adalah orang-orang yang bertakwa, siapapun mereka dan di manapun mereka.” 

(HR. At-Thabrani 20/120 dan Ibnu Hibbaan dalam shahihnya no 647) 


Biasakanlah senantiasa berbuat baik, karena Allah Azza wa Jalla akan mewafatkan seseorang sesuai kebiasaaannya. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu berkata,

تعودوا الخير، فإنما الخير بالعادة.

"Biasakanlah melakukan kebaikan, karena sesungguhnya kebaikan itu hanyalah bisa dilakukan dengan kebiasaan."

(Shahih, Mushannaf Abdur Razzaq, No. 4742)


Marilah, di sisa usia kita senantiasa kita biasakan dengan berbuat amal kebaikan, jauhkan dari kebiasaan berbuat dosa dan kezaliman. Karena kita tidak tahu kapan ajal kita berakhir, di saat berbuat kebaikan ataukah di saat berbuat dosa dan kezaliman.



Posting Komentar

0 Komentar